Masa Prapaskah, Adam dan Yesus

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [A]
26 Februari 2023
Matius 4:1-11

Sekarang kita berada di hari Minggu pertama masa Prapaskah. Bagi sebagian dari kita, masa Prapaskah sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan. Kita berpantang makan daging atau hal-hal lain yang membuat kita nyaman dan berpuasa setidaknya dua kali dalam setahun (Rabu Abu dan Jumat Agung). Kita juga diminta untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdoa dan didorong untuk beramal lebih banyak. Warna dan suasana liturgi juga berubah di gereja-gereja kita. Dan di banyak paroki, pengakuan dosa juga tersedia. Beberapa dari kita mungkin tidak benar-benar mengerti mengapa kita harus melakukan hal-hal ini, tetapi karena kita adalah orang Katolik dan orang lain mempraktikkannya, kita juga melakukannya. Beberapa dari kita mungkin menyadari alasan di balik berbagai olah rohani ini karena kita mendengarkan katekese yang diberikan oleh para imam atau katekis awam, atau penjelasan yang diberikan di media sosial. Sebagai seorang imam, saya berusaha untuk mengambil setiap kesempatan untuk mendidik umat beriman pada masa yang indah ini (lihat juga katekese dan refleksi saya di tahun-tahun sebelumnya). Namun, kita masih bertanya-tanya mengapa kita harus terus melakukan hal-hal ini setiap tahun?

Jawabannya terletak pada kodrat manusia kita yang terluka. Berbicara tentang kodrat manusia, kita harus kembali kepada orang tua pertama kita, Adam dan Hawa. Dalam bacaan pertama Minggu ini, kita menemukan bagaimana Adam diciptakan dari debu tanah dan menerima nafas kehidupan. Tidak hanya itu, Tuhan menempatkan mereka di taman yang dekat dengan Allah sendiri. Hal ini menjadi simbol bahwa mereka hidup dalam keselarasan dengan Tuhan, alam semesta dan diri mereka sendiri. Ini adalah kondisi rahmat yang asli (original state of grace). Namun, terlepas dari semua hak istimewa itu, Adam dan Hawa, yang berasal dari tanah, berani menentang Tuhan semesta alam. Sungguh, dosa mereka layak berbuah kematian. Namun, Tuhan berbelas kasih, mencegah kematian, dan memberikan kesempatan kedua bagi pria dan wanita. Sayangnya, dosa telah melukai jiwa mereka dan menghancurkan persahabatan mereka dengan Tuhan. Kodrat yang terluka sekarang menjadi lemah terhadap godaan dan cenderung melakukan lebih banyak dosa.

Sayangnya, Adam bukan hanya seorang individu yang terisolasi. Ia merupakan kepala umat manusia. Oleh karena itu, Santo Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma (bacaan kedua Minggu ini), mengungkapkan kebenaran bahwa dampak dari dosa Adam mengalir ke seluruh umat manusia. “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Rm. 5:12).” Ketika kita dikandung, kita menerima kodrat manusia yang terluka. Kita berada dalam kondisi yang jauh dari Allah. Tradisi Katolik kita menyebutnya sebagai ‘dosa asal’.

Namun, kita tidak perlu putus asa. Juga dalam surat yang sama, St. Paulus memberitakan kabar baik bahwa Yesus telah menyelamatkan kita dan membawa kita kembali ke dalam persahabatan dengan Allah, yaitu kondisi rahmat (state of grace). “Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi rahmat Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. (Rm. 5:15).”

Lalu, pertanyaannya yang tetap ada: “Jika kita sudah ditebus, mengapa kita masih harus melakukan olah rohani yang intensif di masa Prapaskah? Ya, kita telah ditebus, tetapi jiwa kita masih memiliki beberapa kelemahan karena dampak dari dosa asal. Kita masih memiliki kecenderungan dan ketidakteraturan untuk melakukan dosa (para theolog menyebutnya sebagai ‘concupiscentia’ – KGK 405). Oleh karena itu, untuk menguatkan otot-otot rohani kita melawan kedagingan, dunia, dan iblis, dan semakin hidup di dalam rahmat, Yesus memberi kita tiga kiat berikut ini: berpuasa, berdoa secara intensif, dan beramal. (Untuk mengetahui mengapa ketiga hal ini harus dilakukan, lihatlah renungan saya tahun lalu).

Namun, ada satu pertanyaan yang tersisa: “Mengapa Allah mengizinkan ‘concupiscentia’ untuk tetap ada di dalam jiwa kita meskipun ada kita sudah ditebus?” Nantikan jawabannya Minggu depan!

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leave a comment