Minggu ke-6 Paskah [C]
25 Mei 2025
Kisah Para Rasul 15:1-2, 22-29
Gereja Katolik menghadapi momen yang penting dan bersejarah pada Paskah 2025 ini. Paus Fransiskus, sosok yang dicintai namun penuh dengan polemik, meninggal dunia hanya sehari setelah menyampaikan berkat Minggu Paskah. Misa pemakamannya pada hari Sabtu berikutnya menarik ratusan ribu pelayat, yang mencerminkan dampak mendalam dari kepausannya. Ketika para kardinal berkumpul untuk konklaf, dunia menyaksikan dengan penuh antisipasi. Kemudian, pada tanggal 8 Mei, asap putih mengepul dari Kapel Sistina. “Habemus Papam!” Kita memiliki paus baru, dan namanya adalah Leo XIV, soerang paus dari Amerika Utara pertama dan juga pertama dari Ordo Santo Agustinus. Ribuan orang bersukacita di Lapangan Santo Petrus, berharap akan sebuah babak baru dalam Gereja.

Warisan Paus Fransiskus diwarnai dengan kekaguman dan kontroversi. Banyak yang mengapresiasi belas kasihnya kepada kaum miskin dan terpinggirkan, sementara yang lain bergumul dengan beberapa pernyataan dan keputusannya. Kini, dengan terpilihnya Paus Leo XIV, ada harapan akan persatuan dan perdamaian dalam Gereja. Namun, seperti halnya pemimpin manusia lainnya, dia juga akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita. Lalu, bagaimana kita harus menanggapi kenyataan ini?
Kuncinya terletak pada pembedaan antara devosi sejati dari fanatisme. Fanatisme adalah sebuah ketertarikan yang tidak teratur yang mendistorsi persepsi kita terhadap kepausan. Efeknya adalah mengubah kekaguman menjadi penyembahan berhala. Fanatisme membutakan kita terhadap kemanusiaan seorang paus, membuat kita percaya bahwa ia tidak dapat salah dalam segala hal, tidak hanya dalam hal iman dan moral, dan membuat kita mengabaikan atau menyerang mereka yang mengkritiknya. Lebih buruk lagi, hal ini dapat mengarah pada penghinaan terhadap paus-paus lain hanya karena mereka berbeda dengan paus idaman kita. Fanatisme ini sering menjadi bumerang; ketika paus yang kita idam-idamkan tidak sesuai dengan harapan, kekecewaan pun muncul, bahkan terkadang membuat kita menjauh dari Gereja.
Di sisi lain, devosi yang sejati berakar pada kasih kepada Kristus, yang mempercayakan Petrus dan para penerusnya untuk menjaga kawanan domba-Nya (Yoh 21). Kita menghormati Paus bukan terutama karena kualitas pribadinya, tetapi karena peran sucinya sebagai Wakil Kristus. Secara sederhana, kita mengasihi para paus karena kita mengasihi Yesus.
Bacaan pertama mengingatkan kita akan kepemimpinan Santo Petrus dalam Gereja mula-mula. Ketika para rasul dan penatua berkumpul di Yerusalem dan memperdebatkan apakah orang-orang non-Yahudi yang percaya, perlu mengikuti hukum Musa. Beberapa penatua menginginkan agar mereka menjadi orang Yahudi sebelum menjadi orang Kristen, yang berarti mereka harus disunat dan mengikuti hukum Taurat secara ketat. Paulus dan Barnabas menginginkan agar orang-orang non-Yahudi yang percaya terbebas dari hukum Musa. Akhirnya, Petrus berdiri dan membuat keputusan akhir: mereka tidak terikat oleh hukum Musa. Konsili ini menerima otoritas Petrus, karena mereka tahu bahwa otoritas itu berasal dari Kristus. Namun, Petrus sendiri bukanlah orang yang sempurna. Sebagai contoh, Paulus secara terbuka mengoreksi Petrus karena ia gagal menegakkan ajarannya sendiri (Gal 2:11-14). Teguran Paulus tidak lahir dari kebencian, tetapi dari kasih; sebuah hasrat untuk menguatkan Petrus dalam misinya yang diberikan Allah.
Seperti Petrus, setiap paus memikul tanggung jawab yang berat untuk menggembalakan Gereja. Dan seperti Petrus, mereka tetaplah manusia biasa yang rentan terhadap kelemahan dan kesalahan. Peran kita adalah untuk mendukung mereka dengan doa, terutama pada saat-saat sulit, dan untuk terus membangun Gereja dengan pengharapan dan kebijaksanaan.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Bagaimana kita melihat para paus kita? Bagaimana kita mencintai para paus kita? Apakah kita pernah bergumul untuk memahami para paus kita? Seberapa sering kita mendoakan para
