Minggu ke-21 dalam Masa Biasa [C]
24 Agustus 2025
Ibrani 12:5-7, 11-13
Dalam Surat kepada Orang Ibrani, kita diingatkan bahwa Allah berelasi dengan kita sebagai Bapa yang baik yang mendidik anak-anak-Nya melalui disiplin. Pada pandangan pertama, hal ini tampak sederhana. Orang tua, secara khusus, seorang bapa, mendidik anak-anak mereka melalui aturan dan konsekuensi. Namun, ketika diterapkan pada hubungan kita dengan Allah, konsep ini mengungkapkan kebenaran yang mendalam tentang kehendak-Nya bagi pertumbuhan dan keselamatan kita.

1. Landasan dalam Pengajaran Yesus
Penulis Surat Ibrani mendasarkan gagasan ini pada wahyu Yesus sendiri. Dalam Perjanjian Lama, Allah secara simbolis disebut “Bapa” dari bangsa Israel (Kel 4:22; Ul 32:6; Yes 63:16; Yer 31:9). Seperti seorang ayah yang baik, Allah memberikan kebaikan kepada bangsa Israel dan melindungi mereka dari para musuh. Namun, Yesus mengungkapkan sesuatu yang sepenuhnya baru: Ia secara konsisten dan unik menyebut Allah sebagai Bapa-Nya karena Ia adalah Anak Tunggal yang kekal (Yoh 3:16; 5:17; 10:30). Lebih dari itu, Yesus menghendaki agar kita turut serta dalam relasi Bapa-anak ini, dan mengajarkan kita untuk memanggil Allah sebagai “Bapa Kami” (Mat 6:9; Luk 11:2; Yoh 20:17). St. Paulus menerangkan lebih lanjut bahwa melalui pembaptisan dan Roh Kudus, kita bukan hanya hamba, tetapi kita adalah anak-anak Allah melalui adopsi (Rom 8:14-17).
2. Penderitaan Bukanlah Hukuman
Surat kepada orang-orang Ibrani membuat perbedaan yang penting: penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi bukanlah hukuman ilahi. Allah mengizinkan cobaan karena Dia tahu bahwa cobaan tersebut pada akhirnya akan bermanfaat bagi kita. Tema ini muncul dalam Perjanjian Lama, di mana orang benar seperti Ayub berusaha memahami penderitaan besar yang dialaminya, meskipun dia tidak berdosa (Ayub 5:17-18). Perjanjian Baru mengungkapkan alasan yang lebih dalam: Allah adalah Bapa yang penuh kasih yang mengizinkan kesusahan agar anak-anak-Nya dapat tumbuh dan berkembang dalam kekudusan.
3. Kasih dan Disiplin Bukanlah Oposisi
Penulis melanjutkan, “Sebab siapa yang dikasihi Tuhan, dia didisiplinkan; dia mencambuk setiap anak yang diakui-Nya” (Ibrani 12:6). Ini menantang distorsi modern tentang cinta, yang menyarankan bahwa mencintai seseorang berarti memberi mereka segala yang mereka inginkan, terlepas dari apakah hal-hal itu bermanfaat atau justru merugikan bagi mereka. Kasih sejati itu bijaksana. Seorang ayah yang baik memberi anak apa yang mereka butuhkan untuk pertumbuhan yang autentik, meskipun itu membawa kesulitan bagi sang anak. Bapa Surgawi yang Mahabijaksana tahu apa yang terbaik untuk kebaikan kekal kita, dan Dia kadang-kadang menggunakan cobaan hidup untuk membentuk kita untuk hidup kekal.
Pemahaman ini, bahwa disiplin Tuhan adalah tindakan kasih-Nya, telah memberdayakan banyak orang kudus untuk menanggung cobaan dengan sukacita. Santa Katarina dari Siena, yang menanggung penderitaan fisik, emosional, dan spiritual (termasuk stigmata), mengajarkan bahwa “Tidak ada hal besar yang pernah dicapai tanpa banyak menanggung penderitaan.” Santa Thérèse dari Lisieux menghidupi “Jalan Kecil”-nya, dengan menerima ketidaknyamanan sehari-hari dan perjuangan menyakitkan melawan tuberkulosis tanpa keluhan. Dia menyerahkan semuanya dengan sukacita, dan berkata, “Penderitaan yang ditanggung dengan sukacita untuk orang lain lebih banyak mengubah orang daripada khotbah.” Bagi dia, ranjang sakitnya menjadi tempat misi dan kasih.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:
Apa saja ujian yang sedang kita alami saat ini? Bagaimana kita memandang penderitaan ini: sebagai hukuman, atau sebagai bagian dari rencana kasih Allah untuk pertumbuhan kita? Apa reaksi tipikal kita terhadap kesulitan? Apakah kita merespons dengan keluhan dan amarah, atau dengan kepercayaan dan syukur? Bisakah kita belajar melihat tangan kasih Bapa Surgawi bahkan dalam penderitaan kita?
