Minggu ke-19 dalam Masa Biasa
10 Agustus 2025
Ibrani 11:1-2, 8-19
Penulis Surat kepada Orang Ibrani memberikan definisi yang mendalam tentang iman: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan, bukti dari hal-hal yang tidak terlihat” (Ibrani 11:1). Namun, bagaimana kita memahami definisi ini?

Iman sebagai Fondasi yang Kokoh
Kata Yunani yang digunakan untuk “dasar” adalah ὑπόστασις (hupostasis), yang secara harfiah berarti “yang berada di bawah.” Gambaran yang ingin diberikan adalah iman seperti fondasi yang kokoh. Ini berarti bahwa iman bukanlah emosi yang sementara atau ledakan keyakinan sesaat. Iman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan secara instan melalui musik yang keras atau teriakan yang kuat. Sebaliknya, iman adalah keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan terhadap janji-janji Allah. Iman menjadi fondasi bagi kita dan memberikan substansi pada apa yang kita harapkan meskipun kita belum dapat melihatnya.
Iman sebagai Bukti yang Meyakinkan
Penulis juga menggambarkan iman sebagai “bukti” dan dalam bahasa Yunani, ἔλεγχος (elengkos). Istilah yang sering digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada bukti yang tak terbantahkan. Di ruang sidang, bukti yang terverifikasi menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Demikian pula, iman berfungsi sebagai konfirmasi yang tak terbantahkan atas realitas rohani yang tidak dapat kita rasakan dengan indra fisik kita, seperti mata, telinga, dan mulut. Meskipun tidak terlihat, realitas-realitas ini sungguh nyata karena iman bersaksi tentang kebenarannya.
Dari Mana Datangnya Iman Seperti Itu?
Namun, bagaimana mungkin iman bisa begitu kuat? Bagaimana bisa iman berfungsi sebagai dasar dan bukti sekaligus? Jawabannya terletak pada sumbernya: iman tidak berasal dari dalam diri kita, melainkan dari kesetiaan Allah. Janji-janji yang kita harapkan bukanlah keinginan manusia, melainkan jaminan ilahi karena Allah sendiri yang telah mengucapkan janji. Karena Allah dapat dipercaya, iman kita berakar pada komitmen-Nya yang tak berubah untuk menepati janji-janji-Nya.
Lalu, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar setia? Sejarah membuktikannya. Perjanjian Lama dipenuhi dengan kisah-kisah Allah yang menepati janji-Nya, dan Surat Ibrani menyoroti Abraham sebagai contoh utama. Pada usia tujuh puluh lima tahun, Abraham menaati panggilan Allah untuk meninggalkan tanah airnya yang nyaman menuju masa depan yang tidak diketahui dan tanah yang belum terjamah. Meskipun usianya sudah tua dan Sarah mandul, ia percaya pada janji Allah tentang keturunan yang sebanyak bintang di langit. Bahkan ketika diuji dengan hal yang tak terbayangkan, yaitu mengorbankan putranya Ishak, Abraham tetap percaya pada kesetiaan Allah bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik. Ia meninggal tanpa melihat penuhnya janji itu terpenuhi, namun janji-janji Allah pada akhirnya terwujud.
Surat Ibrani menunjukkan kepada kita bahwa kesetiaan Allah, yang ditunjukkan melalui generasi demi generasi, mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus. Dia adalah ekspresi akhir dan paling sempurna dari janji-janji Allah. Dia dilahirkan seperti kita manusia, menderita dan wafat bagi kita, dan bangkit dari kematian. Iman kita, oleh karena itu, tidak hanya didasarkan pada emosi atau akal budi manusia saja, tetapi pada tindakan-tindakan historis Allah, yang terbukti dalam kehidupan orang-orang percaya sebelum kita dan dikukuhkan dalam Kristus. Iman lebih dari sekadar keyakinan. Iman adalah fondasi kokoh pada Dia yang tidak pernah gagal. Dan karena Allah setia, kita dapat berdiri teguh, bahkan ketika jalan di depan tidak terlihat.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Refleksi
Bagaimana kita memahami iman? Apakah itu sekadar perasaan emosional, hasil logika, atau pertemuan pribadi dengan Allah? Apakah kita pernah menghadapi momen keraguan atau krisis iman? Bagaimana kita mengatasinya? Bagaimana pengakuan akan kesetiaan Allah dalam Kitab Suci memperkuat kepercayaan kita kepada-Nya hari ini?
