Minggu ke-23 dalam Masa Biasa [C]
7 September 2025
Lukas 14:25-33
Kita kini dihadapkan pada salah satu pernyataan Yesus yang paling sulit dipahami: Ia menuntut agar kita “membenci” orang tua, pasangan, saudara kandung, bahkan anak-anak kita sendiri. Bagaimana kita memahami perkataan yang sulit ini?

Untuk menemukan jawabannya, kita harus mempertimbangkan tiga unsur utama: pernyataan lengkap Yesus, makna kata “benci”, dan konteks yang lebih luas dari kehidupan dan misi Yesus.
1. Pernyataan Lengkap
Pertama, kita perlu membaca kalimat secara utuh. Yesus berkata, “Jika ada orang yang datang kepada-Ku tanpa membenci ayah dan ibunya, istri dan anak-anaknya, saudara-saudaranya, bahkan hidupnya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Ini bukan perintah umum untuk semua orang, tetapi syarat khusus yang ditujukan kepada mereka yang ingin menjadi pengikut-Nya yang sejati.
2. Arti Alkitabiah dari “Benci”
Kata “benci” di sini (dari bahasa Yunani μισέω – miseo) tidak mengimplikasikan perasaan kebencian yang kuat atau permusuhan. Dalam Alkitab, kata ini sering memiliki makna perbandingan: “mencintai lebih sedikit” agar dapat memberikan perlakuan istimewa kepada sesuatu yang lain (lihat Kejadian 29:31, Ulangan 21:15-16, Lukas 16:13). Dalam konteks ini, Yesus menuntut agar pengikut-Nya menjadikan-Nya prioritas mutlak. Dia tidak meminta kita untuk memusuhi keluarga kita, tetapi untuk mencintai-Nya sedemikian rupa sehingga semua cinta lainnya—bahkan untuk hidup kita sendiri—terasa seperti bukan prioritas utama. Cara yang lebih sederhana untuk mengatakannya adalah: Kecuali kita mencintai Yesus lebih dari segala sesuatu dan semua orang lain, kita tidak dapat menjadi murid-Nya.
3. Konteks yang Lebih Luas
Akhirnya, kita harus ingat bahwa Yesus berbicara saat Dia berjalan menuju Yerusalem, tempat Dia akan menghadapi penderitaan dan kematian-Nya di salib. Mengikuti-Nya berarti berbagi dalam penderitaan-Nya. Hal ini hanya mungkin jika seorang murid memprioritaskan Yesus di atas segalanya. Kita melihat hal ini tercermin dalam tokoh seperti Maria, ibu-Nya, yang menolak untuk bersembunyi tetapi berdiri teguh di kaki salib, berbagi dalam penderitaan-Nya. Murid-murid lain, seperti Yohanes dan Maria Magdalena, juga mengikuti-Nya hingga akhir, menunjukkan prioritas kasih ini.
Ajaran yang keras ini tetap berlaku bagi kita hari ini. Mengikuti Yesus hingga akhir membutuhkan cinta kepada-Nya di atas segalanya. Meskipun tidak semua orang dipanggil untuk menjadi martir seperti Santo Ignatius dari Antiokhia yang dimakan singa atau Santo Fransiskus de Capillas yang disiksa dan dibunuh saat memberitakan Yesus di Tiongkok, setiap murid dipanggil untuk menjadikan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidupnya.
Ini tidak berarti kita harus berdoa setiap detik. Sebaliknya, ini berarti membuat keputusan sehari-hari yang mencerminkan cinta kita kepada Yesus dan keinginan kita untuk berkenan di hadapan Allah. Ini bisa sesederhana: Memilih untuk menghindari dosa dan keburukan; Menolak menjadi batu sandungan bagi orang lain; Menjadikan Misa Minggu sebagai prioritas, bahkan saat berlibur; Dengan lembut mengajak anggota keluarga untuk mengenal Yesus lebih dalam.
Mencintai Yesus adalah keputusan sadar dan harian untuk memilih apa yang mengembangkan kekudusan kita dan memperdalam hubungan kita dengan-Nya.
Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Refleksi:
Bagaimana kita secara konkret menunjukkan cinta kita kepada Yesus dalam rutinitas harian kita? Apakah tindakan dan kata-kata kita mendorong orang lain untuk mencintai Yesus? Apakah perilaku kita membuat seseorang sulit untuk mendekati Yesus?
