Peringatan Semua Arwah Orang Beriman
2 November 2025
Yohanes 6:37-40
St. Yusuf, ayah angkat Yesus, dikenal sebagai teladan kudus bagi suami, ayah, dan pekerja. Namun, ia juga memiliki gelar yang jarang orang tahu: santo pelindung bagi kematian yang bahagia. Namun, apa artinya gelar ini? Bagaimana kematian, yang seringkali dipenuhi dengan ketakutan dan kesedihan, bisa dianggap bahagia?

Untuk memahaminya, kita harus terlebih dahulu mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: Apa yang dimaksud dengan kematian yang bahagia? Apakah itu berarti dikelilingi oleh keluarga saat ajal menjemput di usia tua, dan bebas dari rasa sakit? Atau saat kita mati, kita menerima ibadat kematian yang indah di pemakaman yang terawat dengan baik? Sejatinya, kebahagiaan dan kematian tampaknya merupakan dua konsep yang tak dapat dipertemukan. Kita secara alami diciptakan untuk hidup; kita secara naluriah menolak rasa sakit dan penderitaan yang mengingatkan kita pada kematian. Jadi, bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan dalam kematian, sebuah peristiwa yang ditolak oleh seluruh keberadaan kita? Mencari kematian yang bahagia terasa seperti hal yang mustahil.
Di sinilah St. Yusuf datang untuk membantu kita. Hidupnya memberikan jawaban atas teka-teki mendalam ini. Tradisi Katolik mengajarkan bahwa pada saat kematiannya, Yusuf tidak sendirian. Ia berada dalam pelukan Yesus dan Maria. Kebersamaan suci ini pada akhir hidup Yusuf merupakan puncak dari kehidupan yang dijalani dalam persekutuan yang konstan dengan Allah. Kunci kematian yang bahagia adalah hidup yang dijalani bersama Allah.
Dalam iman Katolik, kematian adalah tindakan akhir dan menentukan dalam hidup, yang secara kekal mengukuhkan pilihan kita untuk atau melawan Allah. St. Yusuf mewakili teladan ideal: di ranjang kematiannya, ia berpaling kepada Yesus, anak angkatnya dan juga Tuhan yang maharahim, serta kepada Maria, istrinya dan juga Bunda Allah. Kematiannya bahagia karena Yesus yang ia peluk dengan napas terakhirnya adalah Yesus yang sama yang menyambutnya ke dalam kebahagiaan abadi surga.
Namun, St. Yusuf tidak hanya hanya mengajarkan tentang bagaimana menghadapi kematian, tetapi secara mendasar bagaimana kita hidup. Injil menggambarkannya sebagai “orang yang benar” (Mat 1:19). Seluruh hidupnya adalah “ya” yang setia kepada Allah. Sebuah pengabdian kepada kehendak Allah yang seringkali membawa Yusuf pada penderitaan. Ia menghadapi ketidakpastian, pengasingan, dan kesulitan demi keluarga yang dipercayakan kepadanya. Karena ia menghabiskan hidupnya mencari Tuhan dalam setiap keadaan, maka sangat alamiah baginya untuk mencari Yesus pada saat terakhirnya. Kematiannya yang baik adalah buah dari hidup yang setia.
Saat kita berdoa untuk orang-orang terkasih yang telah meninggal, Santo Yusuf memberikan kita harapan yang mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa bagi mereka yang hidup dengan setia bersama Kristus, kematian tidak menghancurkan kehidupan tetapi menyempurnakannya. Kematian bukan akhir, tetapi gerbang menuju sukacita yang tak terpadamkan. Inilah kematian yang bahagia.
Santo Yusuf, pelindung kematian yang bahagia, doakanlah kami!
Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:
Apakah kita menumbuhkan kehidupan bersama Kristus yang mempersiapkan kita untuk menghadapi kematian dengan damai? Apakah kita melihat kematian sebagai akhir yang menakutkan, atau sebagai jalan menuju kehidupan abadi? Dalam pilihan-pilihan harian kita, apakah kita membangun kebiasaan untuk berpaling kepada Yesus, seperti yang dilakukan Yusuf? Apakah kita mencari perantaraan Santo Yusuf, memintanya untuk berdoa bagi kematian yang suci bagi diri kita sendiri dan bagi semua yang paling membutuhkannya?
